UniksPos -
Burung atau unggas adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari burung kolibri yang kecil mungil hingga burung unta, yang lebih tinggi dari orang. Diperkirakan terdapat 8.800 sampai 10.200 spesies burung di seluruh dunia, 1.500 jenis di antaranya ditemukan di Indonesia. Berbagai jenis burung ini secara ilmiah digolongkan ke dalam kelas Aves.
1. Maleo
Maleo Senkawor atau Maleo, yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung gosong berukuran sedang, dengan panjang 55 sentimeter, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Burung Maleo adalah termasuk satwa burung langka yang dilindungi pemerintah Indonesia, yang populasi endemiknya hanya ditemukan di hutan tropis pulau Sulawesi, terutama di Sulawesi Tengah, lebih khusus lagi yakni Kabupaten Banggai dan Kabupaten Sigi. Berdasarkan dari tingkat susutnya habitat hutan yang terus berlanjut, tingkat kematian anak burung yang tinggi, populasi yang terus menyusut serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas, Burung Maleo dikategorikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendice I. Maleo adalah monogami spesies, dan makanan utamanya adalah aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang serta berbagai jenis hewan kecil.
Ciri-ciri dari burung Maleo adalah berukuran sedang, panjang 55 sentimeter. Bulu berwarna hitam, kulit area mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Ciri Maleo Jantan dan betina serupa. Namun, maleo betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung maleo jantan. Hal yang unik dari burung Maleo adalah, ukuran telurnya yang besar 11 sentimeter (8 kali lebih besar dari ukuran telur ayam), dan memiliki berat 240 gram hingga 270 gram perbutir. Anak burung Maleo sudah bisa terbang saat baru menetas dari telurnya. Burung Maleo berkembang biak dengan cara mengeram telut-telurnya dalam timbunan pasir, umumnya sering ditemui di sepanjang pesisir pantai Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah.
2. Anis-bentet Sangihe
Anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis) adalah spesies burung dari keluarga Colluricinclidae. Ini merupakan burung endemik Indonesia. Habitat burung ini di kawasan Hutan pegunungan dengan iklim subtropik atau tropis lembap. Hewan ini termasuk hewan yang terancam, karena kehilangan habitat. Dalam Bahasa Inggris burung ini disebut dengan nama Sangihe Shrike-thrush. Mereka adalah burung endemik Sulawesi, atau hanya bisa ditemukan di habitat aslinya di Pulau Sulawesi, Indonesia, tepatnya di Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara. Habitat populasi burung ini sudah menurun dalam cakupan dan kualitas populasi semakin kecil dan terus berkurang jumlahnya.
Karena situasi populasi yang mengkhawatirkan itu, maka burung ini diklasifikasikan sebagai sangat terancam punah. Ciri-ciri burung ini adalah, ukurannya 17 cm, warna Coklat Olive pada bagian atas, coklat tua pada bagian bahu dan bawah punggung. Pada bagian bawahnya lagi coklat pucat dan kaki hitam. Coklat zaitun pada area kuning tenggorokan. Suaranya keras, nadanya seperti lagu dengan banyak pengulangan dan lembut, bunyinya kedengaran seperti Chweep…chweep..chweep. Populasinya mungkin akan sangat rendah jumlahnya (kurang dari 100 burung) mengingat daerah kecil habitat yang tersisa, dan kebanyakan dijumpai di Gunung Sahendaruman dan Gunung Sahengbalira.
3. Gagak Banggai
Gagak Banggai (Corvus Unicolor) atau Banggai Crow adalah burung endemik Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah yang sangat langka dan termasuk dalam daftar 18 burung paling langka di Indonesia dengan status Critically Endangered (kritis), bahkan pernah dianggap sudah punah. Burung langka ini ditemukan kembali pada survei di Pulau Peleng pada 2007/2008. Selama lebih dari satu abad gagak Banggai hanya ditemukan dua spesies yang ada di sebuah pulau tidak dikenal di kepulauan Banggai antara 1884 - 1885. Burung ini tetap menjadi teka-teki untuk waktu yang lama.
Terdaftar sebagai spesies rentan pada 1994 pada IUCN Red List, kemudian burung ini berstatus sebagai rentan pada 2000. Dan pada 2006, gagak ini lebih lanjut terdaftar sebagai satwa mungkin punah. Untung hal ini tidak benar dan statusnya diganti lagi menjadi kritis pada 2007 Red List. Populasi habitatnya adalah hutan dengan ketinggian hingga 900 meter dari permukaan laut (dpl). Burung ini diketahui dari dua spesimen yang ditemukan antara tahun 1884-1885 dari salah satu pulau di kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah.
Setelah penemuan itu Gagak Banggai tidak pernah lagi dijumpai hingga pada tahun 2008 seorang ornitologis (ahli burung) Indonesia yang bernama Muhammad Indrawan berhasil memotret dan mendapatkan foto dua spesies Gagak Banggai di pulau Peleng, pulau dengan luas 2.340 kilometer persegi, salah satu pulau di kepulauan Banggai. Populasinya diperkirakan hanya berkisar antara 30-200 ekor. Ciri-cirinya adalah ukuran panjang tubuh 39 cm dan bulunya yang hitam. Iris mata berwarna lebih gelap dibandingkan gagak hutan, ekornya juga lebih pendek dibandingkan ekor gagak hutan. Suaranya tinggi dengan nada yang lebih cepat bila dibandingkan suara gagak hutan. Biasanya gagak ini dianggap sebagai subspesies dari Corvus enca, namun bulunya yang hitam legam menyerupai gagak Piping.
4. Elang Bondol
Elang bondol (Haliastur Indus) adalah spesies dari genus Haliastur. Burung Elang Bondol berukuran sedang (45 cm), berwarna putih dan coklat pirang. Populasi habitat burung ini selain di Sulawesi, juga tersebar di seluruh Indonesia, kecuali di Jawa dan Bali jarang ditemui. Populasi habitatnya di wilayah pantai dan kepulauan di daerah tropis. Juga masih dapat ditemukan di lahan basah dan hutan dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter di pedalaman yang jauh dari pantai.
Ciri-cirinya berukuran sedang 45 sentimeter, berwarna putih dan coklat pirang. Elang bondol dewasa memiliki warna kepala, leher, dan dada putih, sementara sayap, punggung, ekor, dan perut coklat terang, kontras dengan bulu utama yang hitam. Elang bondol remaja, tubuh kecoklatan dengan coretan pada dada. Warna berubah menjadi putih keabu-abuan pada tahun kedua, dan mencapai bulu dewasa sepenuhnya pada tahun ketiga. Ujung ekor bundar. Iris coklat, paruh dan sera abu-abu kehijauan, kaki dan tungkai kuning suram. Ketika dewasa, karakter tubuhnya adalah, kepala, leher, dada putih. Sayap, punggung, ekor, dan perut coklat terang.
Makanan utama burung elang bondol bervariasi, diantaranya mereka memakan kepiting, udang, dan ikan, memangsa burung, anak ayam, serangga, dan mamalia kecil. Mereka berkembang biak dengan cara bertelur 2 - 4 butir, dan dierami selama 28 - 35 hari dengan membuat sarang dari susunan patahan batang, ranting, rumput, daun dan sampah, di atas bangunan atau cabang pohon yang tersembunyi dengan ketinggian 6 - 50 meter dari permukaan tanah. Bila bersarang di hutan mangrove, ketinggian sarang hanya 2 - 8 meter. Anak burung Elang Bondol mulai belajar terbang dan meninggalkan sarang umur 40 - 56 hari dan menjadi dewasa hidup mandiri dua bulan kemudian.
5. Kakatua-kecil Jambul-kuning
Burung Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea) adalah burung yang tersebar di Sulawesi, berukuran sedang dari marga cacatua, dengan ukuran panjang 35 sentimeter. Ciri-cirinya adalah hampir semua bulunya berwarna putih, dan terdapat jambul berwarna kuning yang dapat ditegakkan di kepalanya. Paruhnya berwarna hitam, kulit di area matanya berwarna kebiruan dan kakinya berwarna abu-abu. Bulu sayap dan ekornya juga berwarna kuning. Daerah sebaran kakatua jenis ini adalah Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Bali, dan Timor, di tempat yang masih terdapat hutan-hutan primer dan subordinat.
Pakan unggas cerdas ini terdiri dari biji-bijian, kacang, dan aneka buah-buahan. Burung betina menetaskan antara dua sampai tiga telur dalam sarangnya di lubang pohon. Mereka bersarang dan bertelur di lubang-lubang pohon hutan primer atau subordinat, dengan jumlah telur dua sampai tiga butir. Selain di Sulawesi, burung ini juga ditemukan di di kepulauan Sunda Kecil, Bali, Timor Barat dan Negara Timor Leste, dimana terdapat hutan-hutan primer dan subordinat. Makanan utamanya adalah biji-bijian, kacang dan aneka buah-buahan.
6. Burung-madu Sangihe
Burung Madu Sangihe (Aethopyga Duyvenbodei) atau Sanghir Sunbird (Elegant Sunbird). merupakan satwa burung langka endemik Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Burung ini termasuk satu diantara burung langka Indonesia yang berstatus endangered (terancam punah), dan karena persebarannya yang terbatas di Kepulauan Sangihe dan beberapa pulau disekitarnya, burung pemakan madu ini pernah dianggap sebagai burung paling langka di kawasan Wallacea (Indonesia bagian tengah). Burung ini sulit terlihat, terutama saat memakan madu di tajuk pohon yang tinggi. Karena daerah sebaran burung ini yang terbatas dan jumlah populasinya yang semakin menurun, maka IUCN Redlist menetapkan Burung-Madu Sangihe dalam status konservasi endangered (terancam punah). Oleh Pemerintah Indonesia, burung ini juga termasuk dalam burung yang dilindungi oleh undang-undang.
Ciri-ciri burung berukuran kecil 12 sentimeter. Burung jantan memiliki bulu bagian kepala atas berwarna hijau metalik dan biru, area telinga berwarna ungu kebiruan, sedangkan bagian punggung berwarna kekuningan, tunggir dan tenggorokan kuning. Burung betina bagian atasnya berwarna zaitun kekuningan, sedangkan bagian tunggir, tenggorokan, dan bagian bawah berwarna kuning. Paruhnya relatif panjang dan melengkung. Ukurannya yang kecil dan gerakannya gesit sehingga terkadang sulit diamati. Kadang-kadang, burung ini ditemukan dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka mencari makan sambil bergerombol dengan burung burung kecil lainnya. Suara burung ini belum terdiskripsikan dengan pasti tapi cenderung tinggi. Makanan utamanya adalah madu, namun selain madu burung ini juga makan serangga dan laba-laba. Habitat burung madu Sangihe adalah hutan dan kebun. Tepatnya, habitat burung ini adalah hutan primer dan tepi hutan.
7. Kacamata Sangihe
Ini adalah spesies burung dari keluarga burung kacamata. Dulu, burung ini dianggap sebagai bagian dari spesies Zosterops atrifrons (Kacamata dahi-hitam). Mereka merupakan hewan endemik Kepulauan Sangihe, Indonesia. Burung Kacamata Sangihe merupakan salah satu dari 22 jenis burung kacamata (pleci) yang terdapat di Indonesia. Burung dengan nama ilmiah Zosterops nehrkorni atau Sangihe White Eye adalah satwa burung langka endemik Pulau Sangihe - Sulawesi Utara, yang dikategorikan terancam punah oleh IUCN Redlist dengan status konservasi ‘ktitis’ (Critically Endangered), yaitu status tingkat keterancaman populasi kepunahan tertinggi, karena diperkirakan jumlah populasi burung ini kurang dari 50 ekor burung.
Ciri-ciri burung endemik sangihe yang langka dan terancam punah ini berukuran kecil 12 sentimeter. Berwarna hijau zaitun pada bagian atas tubuh, dengan tunggir warna kuning-hijau mencolok. Paruh dan kaki berwarna jingga kepucatan. Ekor berwarna hijau-hitam gelap. Dahi berwarna hitam. lingkar mata berwarna putih agak lebar. Pipi, tenggorokan dan penutup ekor bawah berwarna kuning cerah. bagian bawah lainnya berwarna putih-mutiara dengan sisi tubuh abu-abu. Burung ini memiliki suara siulan tipis dan halus dengan nada irama yang cepat. Makanan utama adalah serangga dan aneka buah. Habitat mereka di kawasan Hutan pegunungan dengan iklim subtropik atau tropis lembap. Burung langka ini sering beraktifitas dibagian tengah dan atas kanopi hutan pada hutan primer di daerah perbukitan.
8. Julang Sulawesi
Julang sulawesi (Aceros cassidix) adalah spesies burung rangkong dalam famili Bucerotidae. Burung ini endemik di Sulawesi. Di daerah Minahasa. burung ini dikenal dengan nama Burung Taong. Dalam bahasa Inggris disebut Horbbill, di Indonesia dikenal juga sebagai Julang, Enggang, dan Kangkareng. Burung Rangkong atau Enggang, tergolong jenis burung di lindungi oleh undang-undang. Burung ini terdiri dari 57 spesies yang tersebar di Benua Asia dan Benua Afrika, 14 jenis di antaranya terdapat di Negara Indonesia, dan 3 jenis adalah termasuk Burung endemik Indonesia, atau hanya hidup di habitatnya di Indonesia.
Dari ketiga jenis burung Rangkong endemic Indonesia tersebut, dua jenis merupakan Rangkong endemic Sulawesi, yaitu (pertama) Rangkong Sulawesi atau Julang Sulawesi Ekor Hitam (Rhyticeros Cassidix), biasa juga disebut Rangkong Buton, Burung Taon atau Burung Allo.(kedua) Julang Sulawesi Ekor Putih atau Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus). Ciri-cirinya Burung Rangkong adalah , memiliki ciri khas berupa paruh yang sangat besar menyerupai tanduk, makanya disebut marga "Bucerotidae" (bahasa Yunani) yang artinya adalah "Tanduk Sapi". Dimensi ukuran tubuh Rangkong Indonesia 40 - 150 sentimeter, dengan rberat mencapai 3.6 Kilogram. Warna bulu Rangkong jenis ini umumnya didominasi oleh warna hitam (bagian badan) dan putih pada bagian ekor.
Sedangkan warna bagian leher dan kepala cukup bervariasi, kemudian suara dari kepakan sayap dan suara "calling", seperti yang dimiliki Rangkong Gading (Buceros vigil) dengan "calling" seperti orang tertawa terbahak-bahak dan dapat terdengar hingga radius 3 kilometer. Makanan utamanya adalah buah-buahan dan binatang kecil seperti kadal, kelelawar, tikus, ular serta berbagai jenis serangga. Penyebaran Burung Rangkong tmulai dari daerah sub-sahara Afrika, India, Asia Tenggara, New Guinea dan Kepulauan Solomon Sebagian besar hidup di hutan hujan tropis. Julang sulawesi menghuni hutan primer dan hutan rawa. Spesies rangkong ini banyak ditemukan di daerah hutan dataran rendah dan perbukitan (0 - 1000 mdpl). Terkadang ditemukan di hutan subordinat yang tinggi dan petak hutan yang tersisa dengan lahan pertanian yang luas. Terkadang pula mengunjungi hutan bakau di tepi pantai.
9. Taktarau Iblis
Taktarau iblis (Eurostopodus diabolicus) adalah spesies burung cabak dalam famili Caprimulgidae. Burung ini endemik di Pulau Sulawesi dan termasuk burung langka karena sulit dijumpai. Burung ini kesannya misterius, mungkin karena sangat sulit dijumpai, karena burung ini suka hidup berisitrahat di lumut dan daun paku yang lebat, sehingga sulit ditemukan, meskipun pada siang hari. Bahkan burung ini juga aktif mencari makan pada malam hari dan memiliki kemampuan menyamarkan diri dengan lingkungannya. Burung endemik Sulawesi ini berada dalam daftar hewan yang terancam punah dengan status rentan (vulnerable)oleh IUCN Red List of Threatened Species. Masyarakat lokal lembah Napu di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah menyebut burung ini Toroku yang berarti Pencabut Mata. Sedangkan dalam bahasa Inggris namanya adalah Eared Nightjar, Heinrich’s Nightjar dan Satanic Eared Nightjar (Setan Malam Bertelinga) . Dan nama ilmiahnya adalah Eurostopodos Diabolicus, yang bermakna Kejam.
Burung ini pertama kali diketahui secara ilmiah pada tahun 1931 di kaki Gunung Klabat, daerah Semenanjung Minahasa Sulawesi Utara. Kemudian setelah puluhan tahun tidak dijumpai, ditemukan lagi pada tahun 1993 dan kemudian 1996 di Sulawesi Tengah, tepatnya di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, dan kembali terlihat di Minahasa tahun 2000. Terakhir teridentifikasi di Tinombala tahun 2002. Ciri-ciri burung unik dan langka ini adalah, ukurannya kurang lebih 27 sentimeter, tampilan gelap, dengan pita tenggorokan merah karat pucat. Tanda bintik putih yang tidak menyolok terdapat pad bulu primer ke empat (dihitung dari sayap luar). Di ekornya tidak terdapat warna putih. Makanan utamanya adalah serangga, diperoleh dengan cara menyergap secara mendadak dari tanah atau dari tempat-tempat tinggi yang tersembunyi, atau sebaliknya dengan sabar menanti sambil menunggu waktu yang tepat sambil terbang ringan melayang melewati kawasan hutan dan lahan terbuka, cermat mengawasi calon korban yang sedang lengah.
10. Jalak Tunggir Merah
Burung Jalak Tunggir Merah (Scissirostrum dubium) juga dikenal sebagai Myna Grosbeak, Grosbeak Starling, atau Scissor-billed Starling, adalah spesies jalak dalam keluarga Sturnidae. Ini adalah monotypic dalam Scissirostrum genus. Populasi habitat asli burung adalah endemik Pulau Sulawesi, Indonesia. Habitat alami adalah tropis dataran rendah, dan pegunungan kadang-kadang subtropis, kawasan hutan dan lahan basah berhutan ringan. Spesies ini bersarang di koloni dengan jumlah yang kadang mencapai ratusan. Mereka membuat sarang di batang pohon mati. Makanan utamanya adalah buah, serangga, dan biji-bijian. Daerah sebaran burung ini adalah di Sulawesi termasuk Bangka, Lembeh, Butung, Togian Apakah., Peling Apakah, dan. Banggai. Adapun keunikannya, Jalak tunggir merah atau lebih popular dengan sebutan rio-rio, memiliki kemampuan meniru suara burung lain dengan sangat baik.
Maleo Senkawor
Sulawesi adalah sebuah pulau dalam wilayah Indonesia yang terletak di antara Pulau Kalimantan di sebelah barat dan Kepulauan Maluku di sebelah timur. Pulau Sulawesi atau dikenal juga dengan nama Celebes Island memiliki aneka ragam satwa langka yang jarang atau bahkan tidak bisa ditemukan di tempat lain, terutama yang populasi endemiknya berada di Pulau Sulawesi. Beberapa burung langka dan endemik di pulau Sulawesi ini bahkan statusnya sudah dianggap punah, namun beruntung akhirnya ditemukan kembali.1. Maleo
Maleo Senkawor atau Maleo, yang dalam nama ilmiahnya Macrocephalon maleo adalah sejenis burung gosong berukuran sedang, dengan panjang 55 sentimeter, dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Burung Maleo adalah termasuk satwa burung langka yang dilindungi pemerintah Indonesia, yang populasi endemiknya hanya ditemukan di hutan tropis pulau Sulawesi, terutama di Sulawesi Tengah, lebih khusus lagi yakni Kabupaten Banggai dan Kabupaten Sigi. Berdasarkan dari tingkat susutnya habitat hutan yang terus berlanjut, tingkat kematian anak burung yang tinggi, populasi yang terus menyusut serta daerah dimana burung ini ditemukan sangat terbatas, Burung Maleo dikategorikan sebagai terancam punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendice I. Maleo adalah monogami spesies, dan makanan utamanya adalah aneka biji-bijian, buah, semut, kumbang serta berbagai jenis hewan kecil.
Ciri-ciri dari burung Maleo adalah berukuran sedang, panjang 55 sentimeter. Bulu berwarna hitam, kulit area mata berwarna kuning, iris mata merah kecoklatan, kaki abu-abu, paruh jingga dan bulu sisi bawah berwarna merah-muda keputihan. Di atas kepalanya terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam. Ciri Maleo Jantan dan betina serupa. Namun, maleo betina berukuran lebih kecil dan berwarna lebih kelam dibanding burung maleo jantan. Hal yang unik dari burung Maleo adalah, ukuran telurnya yang besar 11 sentimeter (8 kali lebih besar dari ukuran telur ayam), dan memiliki berat 240 gram hingga 270 gram perbutir. Anak burung Maleo sudah bisa terbang saat baru menetas dari telurnya. Burung Maleo berkembang biak dengan cara mengeram telut-telurnya dalam timbunan pasir, umumnya sering ditemui di sepanjang pesisir pantai Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah.
2. Anis-bentet Sangihe
Anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis) adalah spesies burung dari keluarga Colluricinclidae. Ini merupakan burung endemik Indonesia. Habitat burung ini di kawasan Hutan pegunungan dengan iklim subtropik atau tropis lembap. Hewan ini termasuk hewan yang terancam, karena kehilangan habitat. Dalam Bahasa Inggris burung ini disebut dengan nama Sangihe Shrike-thrush. Mereka adalah burung endemik Sulawesi, atau hanya bisa ditemukan di habitat aslinya di Pulau Sulawesi, Indonesia, tepatnya di Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara. Habitat populasi burung ini sudah menurun dalam cakupan dan kualitas populasi semakin kecil dan terus berkurang jumlahnya.
Karena situasi populasi yang mengkhawatirkan itu, maka burung ini diklasifikasikan sebagai sangat terancam punah. Ciri-ciri burung ini adalah, ukurannya 17 cm, warna Coklat Olive pada bagian atas, coklat tua pada bagian bahu dan bawah punggung. Pada bagian bawahnya lagi coklat pucat dan kaki hitam. Coklat zaitun pada area kuning tenggorokan. Suaranya keras, nadanya seperti lagu dengan banyak pengulangan dan lembut, bunyinya kedengaran seperti Chweep…chweep..chweep. Populasinya mungkin akan sangat rendah jumlahnya (kurang dari 100 burung) mengingat daerah kecil habitat yang tersisa, dan kebanyakan dijumpai di Gunung Sahendaruman dan Gunung Sahengbalira.
3. Gagak Banggai
Gagak Banggai (Corvus Unicolor) atau Banggai Crow adalah burung endemik Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah yang sangat langka dan termasuk dalam daftar 18 burung paling langka di Indonesia dengan status Critically Endangered (kritis), bahkan pernah dianggap sudah punah. Burung langka ini ditemukan kembali pada survei di Pulau Peleng pada 2007/2008. Selama lebih dari satu abad gagak Banggai hanya ditemukan dua spesies yang ada di sebuah pulau tidak dikenal di kepulauan Banggai antara 1884 - 1885. Burung ini tetap menjadi teka-teki untuk waktu yang lama.
Terdaftar sebagai spesies rentan pada 1994 pada IUCN Red List, kemudian burung ini berstatus sebagai rentan pada 2000. Dan pada 2006, gagak ini lebih lanjut terdaftar sebagai satwa mungkin punah. Untung hal ini tidak benar dan statusnya diganti lagi menjadi kritis pada 2007 Red List. Populasi habitatnya adalah hutan dengan ketinggian hingga 900 meter dari permukaan laut (dpl). Burung ini diketahui dari dua spesimen yang ditemukan antara tahun 1884-1885 dari salah satu pulau di kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah.
Setelah penemuan itu Gagak Banggai tidak pernah lagi dijumpai hingga pada tahun 2008 seorang ornitologis (ahli burung) Indonesia yang bernama Muhammad Indrawan berhasil memotret dan mendapatkan foto dua spesies Gagak Banggai di pulau Peleng, pulau dengan luas 2.340 kilometer persegi, salah satu pulau di kepulauan Banggai. Populasinya diperkirakan hanya berkisar antara 30-200 ekor. Ciri-cirinya adalah ukuran panjang tubuh 39 cm dan bulunya yang hitam. Iris mata berwarna lebih gelap dibandingkan gagak hutan, ekornya juga lebih pendek dibandingkan ekor gagak hutan. Suaranya tinggi dengan nada yang lebih cepat bila dibandingkan suara gagak hutan. Biasanya gagak ini dianggap sebagai subspesies dari Corvus enca, namun bulunya yang hitam legam menyerupai gagak Piping.
4. Elang Bondol
Elang bondol (Haliastur Indus) adalah spesies dari genus Haliastur. Burung Elang Bondol berukuran sedang (45 cm), berwarna putih dan coklat pirang. Populasi habitat burung ini selain di Sulawesi, juga tersebar di seluruh Indonesia, kecuali di Jawa dan Bali jarang ditemui. Populasi habitatnya di wilayah pantai dan kepulauan di daerah tropis. Juga masih dapat ditemukan di lahan basah dan hutan dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter di pedalaman yang jauh dari pantai.
Ciri-cirinya berukuran sedang 45 sentimeter, berwarna putih dan coklat pirang. Elang bondol dewasa memiliki warna kepala, leher, dan dada putih, sementara sayap, punggung, ekor, dan perut coklat terang, kontras dengan bulu utama yang hitam. Elang bondol remaja, tubuh kecoklatan dengan coretan pada dada. Warna berubah menjadi putih keabu-abuan pada tahun kedua, dan mencapai bulu dewasa sepenuhnya pada tahun ketiga. Ujung ekor bundar. Iris coklat, paruh dan sera abu-abu kehijauan, kaki dan tungkai kuning suram. Ketika dewasa, karakter tubuhnya adalah, kepala, leher, dada putih. Sayap, punggung, ekor, dan perut coklat terang.
Makanan utama burung elang bondol bervariasi, diantaranya mereka memakan kepiting, udang, dan ikan, memangsa burung, anak ayam, serangga, dan mamalia kecil. Mereka berkembang biak dengan cara bertelur 2 - 4 butir, dan dierami selama 28 - 35 hari dengan membuat sarang dari susunan patahan batang, ranting, rumput, daun dan sampah, di atas bangunan atau cabang pohon yang tersembunyi dengan ketinggian 6 - 50 meter dari permukaan tanah. Bila bersarang di hutan mangrove, ketinggian sarang hanya 2 - 8 meter. Anak burung Elang Bondol mulai belajar terbang dan meninggalkan sarang umur 40 - 56 hari dan menjadi dewasa hidup mandiri dua bulan kemudian.
5. Kakatua-kecil Jambul-kuning
Burung Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua Sulphurea) adalah burung yang tersebar di Sulawesi, berukuran sedang dari marga cacatua, dengan ukuran panjang 35 sentimeter. Ciri-cirinya adalah hampir semua bulunya berwarna putih, dan terdapat jambul berwarna kuning yang dapat ditegakkan di kepalanya. Paruhnya berwarna hitam, kulit di area matanya berwarna kebiruan dan kakinya berwarna abu-abu. Bulu sayap dan ekornya juga berwarna kuning. Daerah sebaran kakatua jenis ini adalah Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Bali, dan Timor, di tempat yang masih terdapat hutan-hutan primer dan subordinat.
Pakan unggas cerdas ini terdiri dari biji-bijian, kacang, dan aneka buah-buahan. Burung betina menetaskan antara dua sampai tiga telur dalam sarangnya di lubang pohon. Mereka bersarang dan bertelur di lubang-lubang pohon hutan primer atau subordinat, dengan jumlah telur dua sampai tiga butir. Selain di Sulawesi, burung ini juga ditemukan di di kepulauan Sunda Kecil, Bali, Timor Barat dan Negara Timor Leste, dimana terdapat hutan-hutan primer dan subordinat. Makanan utamanya adalah biji-bijian, kacang dan aneka buah-buahan.
6. Burung-madu Sangihe
Burung Madu Sangihe (Aethopyga Duyvenbodei) atau Sanghir Sunbird (Elegant Sunbird). merupakan satwa burung langka endemik Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Burung ini termasuk satu diantara burung langka Indonesia yang berstatus endangered (terancam punah), dan karena persebarannya yang terbatas di Kepulauan Sangihe dan beberapa pulau disekitarnya, burung pemakan madu ini pernah dianggap sebagai burung paling langka di kawasan Wallacea (Indonesia bagian tengah). Burung ini sulit terlihat, terutama saat memakan madu di tajuk pohon yang tinggi. Karena daerah sebaran burung ini yang terbatas dan jumlah populasinya yang semakin menurun, maka IUCN Redlist menetapkan Burung-Madu Sangihe dalam status konservasi endangered (terancam punah). Oleh Pemerintah Indonesia, burung ini juga termasuk dalam burung yang dilindungi oleh undang-undang.
Ciri-ciri burung berukuran kecil 12 sentimeter. Burung jantan memiliki bulu bagian kepala atas berwarna hijau metalik dan biru, area telinga berwarna ungu kebiruan, sedangkan bagian punggung berwarna kekuningan, tunggir dan tenggorokan kuning. Burung betina bagian atasnya berwarna zaitun kekuningan, sedangkan bagian tunggir, tenggorokan, dan bagian bawah berwarna kuning. Paruhnya relatif panjang dan melengkung. Ukurannya yang kecil dan gerakannya gesit sehingga terkadang sulit diamati. Kadang-kadang, burung ini ditemukan dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka mencari makan sambil bergerombol dengan burung burung kecil lainnya. Suara burung ini belum terdiskripsikan dengan pasti tapi cenderung tinggi. Makanan utamanya adalah madu, namun selain madu burung ini juga makan serangga dan laba-laba. Habitat burung madu Sangihe adalah hutan dan kebun. Tepatnya, habitat burung ini adalah hutan primer dan tepi hutan.
7. Kacamata Sangihe
Ini adalah spesies burung dari keluarga burung kacamata. Dulu, burung ini dianggap sebagai bagian dari spesies Zosterops atrifrons (Kacamata dahi-hitam). Mereka merupakan hewan endemik Kepulauan Sangihe, Indonesia. Burung Kacamata Sangihe merupakan salah satu dari 22 jenis burung kacamata (pleci) yang terdapat di Indonesia. Burung dengan nama ilmiah Zosterops nehrkorni atau Sangihe White Eye adalah satwa burung langka endemik Pulau Sangihe - Sulawesi Utara, yang dikategorikan terancam punah oleh IUCN Redlist dengan status konservasi ‘ktitis’ (Critically Endangered), yaitu status tingkat keterancaman populasi kepunahan tertinggi, karena diperkirakan jumlah populasi burung ini kurang dari 50 ekor burung.
Ciri-ciri burung endemik sangihe yang langka dan terancam punah ini berukuran kecil 12 sentimeter. Berwarna hijau zaitun pada bagian atas tubuh, dengan tunggir warna kuning-hijau mencolok. Paruh dan kaki berwarna jingga kepucatan. Ekor berwarna hijau-hitam gelap. Dahi berwarna hitam. lingkar mata berwarna putih agak lebar. Pipi, tenggorokan dan penutup ekor bawah berwarna kuning cerah. bagian bawah lainnya berwarna putih-mutiara dengan sisi tubuh abu-abu. Burung ini memiliki suara siulan tipis dan halus dengan nada irama yang cepat. Makanan utama adalah serangga dan aneka buah. Habitat mereka di kawasan Hutan pegunungan dengan iklim subtropik atau tropis lembap. Burung langka ini sering beraktifitas dibagian tengah dan atas kanopi hutan pada hutan primer di daerah perbukitan.
8. Julang Sulawesi
Julang sulawesi (Aceros cassidix) adalah spesies burung rangkong dalam famili Bucerotidae. Burung ini endemik di Sulawesi. Di daerah Minahasa. burung ini dikenal dengan nama Burung Taong. Dalam bahasa Inggris disebut Horbbill, di Indonesia dikenal juga sebagai Julang, Enggang, dan Kangkareng. Burung Rangkong atau Enggang, tergolong jenis burung di lindungi oleh undang-undang. Burung ini terdiri dari 57 spesies yang tersebar di Benua Asia dan Benua Afrika, 14 jenis di antaranya terdapat di Negara Indonesia, dan 3 jenis adalah termasuk Burung endemik Indonesia, atau hanya hidup di habitatnya di Indonesia.
Dari ketiga jenis burung Rangkong endemic Indonesia tersebut, dua jenis merupakan Rangkong endemic Sulawesi, yaitu (pertama) Rangkong Sulawesi atau Julang Sulawesi Ekor Hitam (Rhyticeros Cassidix), biasa juga disebut Rangkong Buton, Burung Taon atau Burung Allo.(kedua) Julang Sulawesi Ekor Putih atau Kangkareng Sulawesi (Penelopides exarhatus). Ciri-cirinya Burung Rangkong adalah , memiliki ciri khas berupa paruh yang sangat besar menyerupai tanduk, makanya disebut marga "Bucerotidae" (bahasa Yunani) yang artinya adalah "Tanduk Sapi". Dimensi ukuran tubuh Rangkong Indonesia 40 - 150 sentimeter, dengan rberat mencapai 3.6 Kilogram. Warna bulu Rangkong jenis ini umumnya didominasi oleh warna hitam (bagian badan) dan putih pada bagian ekor.
Sedangkan warna bagian leher dan kepala cukup bervariasi, kemudian suara dari kepakan sayap dan suara "calling", seperti yang dimiliki Rangkong Gading (Buceros vigil) dengan "calling" seperti orang tertawa terbahak-bahak dan dapat terdengar hingga radius 3 kilometer. Makanan utamanya adalah buah-buahan dan binatang kecil seperti kadal, kelelawar, tikus, ular serta berbagai jenis serangga. Penyebaran Burung Rangkong tmulai dari daerah sub-sahara Afrika, India, Asia Tenggara, New Guinea dan Kepulauan Solomon Sebagian besar hidup di hutan hujan tropis. Julang sulawesi menghuni hutan primer dan hutan rawa. Spesies rangkong ini banyak ditemukan di daerah hutan dataran rendah dan perbukitan (0 - 1000 mdpl). Terkadang ditemukan di hutan subordinat yang tinggi dan petak hutan yang tersisa dengan lahan pertanian yang luas. Terkadang pula mengunjungi hutan bakau di tepi pantai.
9. Taktarau Iblis
Taktarau iblis (Eurostopodus diabolicus) adalah spesies burung cabak dalam famili Caprimulgidae. Burung ini endemik di Pulau Sulawesi dan termasuk burung langka karena sulit dijumpai. Burung ini kesannya misterius, mungkin karena sangat sulit dijumpai, karena burung ini suka hidup berisitrahat di lumut dan daun paku yang lebat, sehingga sulit ditemukan, meskipun pada siang hari. Bahkan burung ini juga aktif mencari makan pada malam hari dan memiliki kemampuan menyamarkan diri dengan lingkungannya. Burung endemik Sulawesi ini berada dalam daftar hewan yang terancam punah dengan status rentan (vulnerable)oleh IUCN Red List of Threatened Species. Masyarakat lokal lembah Napu di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah menyebut burung ini Toroku yang berarti Pencabut Mata. Sedangkan dalam bahasa Inggris namanya adalah Eared Nightjar, Heinrich’s Nightjar dan Satanic Eared Nightjar (Setan Malam Bertelinga) . Dan nama ilmiahnya adalah Eurostopodos Diabolicus, yang bermakna Kejam.
Burung ini pertama kali diketahui secara ilmiah pada tahun 1931 di kaki Gunung Klabat, daerah Semenanjung Minahasa Sulawesi Utara. Kemudian setelah puluhan tahun tidak dijumpai, ditemukan lagi pada tahun 1993 dan kemudian 1996 di Sulawesi Tengah, tepatnya di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, dan kembali terlihat di Minahasa tahun 2000. Terakhir teridentifikasi di Tinombala tahun 2002. Ciri-ciri burung unik dan langka ini adalah, ukurannya kurang lebih 27 sentimeter, tampilan gelap, dengan pita tenggorokan merah karat pucat. Tanda bintik putih yang tidak menyolok terdapat pad bulu primer ke empat (dihitung dari sayap luar). Di ekornya tidak terdapat warna putih. Makanan utamanya adalah serangga, diperoleh dengan cara menyergap secara mendadak dari tanah atau dari tempat-tempat tinggi yang tersembunyi, atau sebaliknya dengan sabar menanti sambil menunggu waktu yang tepat sambil terbang ringan melayang melewati kawasan hutan dan lahan terbuka, cermat mengawasi calon korban yang sedang lengah.
10. Jalak Tunggir Merah
Burung Jalak Tunggir Merah (Scissirostrum dubium) juga dikenal sebagai Myna Grosbeak, Grosbeak Starling, atau Scissor-billed Starling, adalah spesies jalak dalam keluarga Sturnidae. Ini adalah monotypic dalam Scissirostrum genus. Populasi habitat asli burung adalah endemik Pulau Sulawesi, Indonesia. Habitat alami adalah tropis dataran rendah, dan pegunungan kadang-kadang subtropis, kawasan hutan dan lahan basah berhutan ringan. Spesies ini bersarang di koloni dengan jumlah yang kadang mencapai ratusan. Mereka membuat sarang di batang pohon mati. Makanan utamanya adalah buah, serangga, dan biji-bijian. Daerah sebaran burung ini adalah di Sulawesi termasuk Bangka, Lembeh, Butung, Togian Apakah., Peling Apakah, dan. Banggai. Adapun keunikannya, Jalak tunggir merah atau lebih popular dengan sebutan rio-rio, memiliki kemampuan meniru suara burung lain dengan sangat baik.
No comments:
Post a Comment