UniksPos -
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu bisa berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran hutang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Uang yang beredar dalam masyarakat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu uang kartal (sering pula disebut sebagai common money) dan uang giral. Uang kartal adalah alat bayar yang sah dan wajib digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi jual-beli sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud dengan uang giral adalah uang yang dimiliki masyarakat dalam bentuk simpanan (deposito) yang dapat ditarik sesuai kebutuhan. Uang ini hanya beredar di kalangan tertentu saja, sehingga masyarakat mempunyai hak untuk menolak jika ia tidak mau barang atau jasa yang diberikannya dibayar dengan uang ini. Untuk menarik uang giral, orang menggunakan cek.
Uang yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannya dengan usaha sendiri. Berdasarkan sejarah uang, sedikitnya ada 10 mata uang tertua di Indonesia.
1. Uang Real Batu, Kesultanan Sumenep (1730 M)
Kerajaan Sumenep di Madura mengedarkan mata uang yang berasal dari uang-uang asing yang kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi ‘sumanap’ sebagai tanda pengesahan. Uang kerajaan Sumenep yang berasal dari uang Spanyol disebut juga real batu, karena bentuknya yang tidak beraturan. Dulunya uang perak ini banyak beredar di Meksiko yang kemudian beredar juga di Filipina. Di negeri asalnya uang ini bernilai 8 Reales. Selain uang real Mexico, kerajaan Sumenep juga memanfaatkan uang gulden Belanda dan uang thaler Austria.
2. Uang Picis, Kesultanan Cirebon (1710 M)
Sultan yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang yang pembuatannya dipercayakan kepada seorang Cina. Uang timah yang sangat tipis dan mudah pecah ini berlubang, berbentuk segi empat atau bundar di tengahnya, disebut picis, dibuat pada abad ke-17. Terdapat tulisan Cina atau tulisan berhuruf Latin di sepanjang lubang yang berbunyi CHERIBON,.
3. Uang Jinggara, Kerajaan Gowa (Abad ke-16)
Di daerah Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, berdiri kerajaan Gowa dan Buton. Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata uang dan emas yang disebut jingara, salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah pada tahun 1653-1669. Selain itu beredar juga uang dari bahan campuran timah dan tembaga, disebut kupa.
4. Uang Kasha Banten, Kesultanan Banten (Abad ke-15)
Mata uang dari Kesultanan Banten pertama kali dibuat pada 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini.
5. Uang Kampua, Kerajaan Buton (Abad ke-14)
Uang yang sangat unik yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita rakyat Buton, Kampua pertama kali diperkenalkan oleh Bulawambona, yaitu Ratu kerajaan Buton yang kedua, yang memerintah pada abad XIV. Setelah ratu meninggal, lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang yang berjualan mengambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan, para pedagang memberikan suatu upeti yang ditaruh diatas makam tersebut, yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton, bahkan sampai tahun 1940.
6. Uang Dirham, Kerajaan Samudra Pasai (1297 M)
Mata uang emas dari Kerajaan Samudra Pasai untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa pada tahun 1297-1326. Mata uang tersebut disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10-11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.
7. Uang Gobog Wayang, Kerajaan Majapahit (Abad ke-13)
Pada zaman Majapahit dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dan terdapat lubang ditengahnya karena pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin tersebut digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.
8. Uang "Ma", (Abad ke-12)
Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari māsa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 - 2,5 gram. Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, setengah atau seperempat lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan ada pula yang tak beraturan. Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai) dalam bidang lingkaran atau segiempat. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960-1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.
9. Uang Krishnala, Kerajaan Jenggala (1042-1130 M)
Pada zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, meskipun mengalami proses perubahan bentuk dan desain. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin perak mempunyai desain berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm. Pada waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah yang beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.
10. Uang Syailendra (850 M)
Mata uang Indonesia dicetak pertama kali pada tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal : Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang. Atak, berat 1.20 gram; sama dengan setengah Masa, atau 2 Kupang. Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan seperempat Masa atau setengah Atak. Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu setengah Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram). Koin emas pada zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame Seed”. Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.
By Elembis (Karya sendiri) [Public domain], via Wikimedia Commons
Menurut Wikipedia, keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efisiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktivitas dan kemakmuran.Uang yang beredar dalam masyarakat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu uang kartal (sering pula disebut sebagai common money) dan uang giral. Uang kartal adalah alat bayar yang sah dan wajib digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi jual-beli sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud dengan uang giral adalah uang yang dimiliki masyarakat dalam bentuk simpanan (deposito) yang dapat ditarik sesuai kebutuhan. Uang ini hanya beredar di kalangan tertentu saja, sehingga masyarakat mempunyai hak untuk menolak jika ia tidak mau barang atau jasa yang diberikannya dibayar dengan uang ini. Untuk menarik uang giral, orang menggunakan cek.
Uang yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannya dengan usaha sendiri. Berdasarkan sejarah uang, sedikitnya ada 10 mata uang tertua di Indonesia.
1. Uang Real Batu, Kesultanan Sumenep (1730 M)
Kerajaan Sumenep di Madura mengedarkan mata uang yang berasal dari uang-uang asing yang kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi ‘sumanap’ sebagai tanda pengesahan. Uang kerajaan Sumenep yang berasal dari uang Spanyol disebut juga real batu, karena bentuknya yang tidak beraturan. Dulunya uang perak ini banyak beredar di Meksiko yang kemudian beredar juga di Filipina. Di negeri asalnya uang ini bernilai 8 Reales. Selain uang real Mexico, kerajaan Sumenep juga memanfaatkan uang gulden Belanda dan uang thaler Austria.
2. Uang Picis, Kesultanan Cirebon (1710 M)
Sultan yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang yang pembuatannya dipercayakan kepada seorang Cina. Uang timah yang sangat tipis dan mudah pecah ini berlubang, berbentuk segi empat atau bundar di tengahnya, disebut picis, dibuat pada abad ke-17. Terdapat tulisan Cina atau tulisan berhuruf Latin di sepanjang lubang yang berbunyi CHERIBON,.
3. Uang Jinggara, Kerajaan Gowa (Abad ke-16)
Di daerah Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, berdiri kerajaan Gowa dan Buton. Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata uang dan emas yang disebut jingara, salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah pada tahun 1653-1669. Selain itu beredar juga uang dari bahan campuran timah dan tembaga, disebut kupa.
4. Uang Kasha Banten, Kesultanan Banten (Abad ke-15)
Mata uang dari Kesultanan Banten pertama kali dibuat pada 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini.
5. Uang Kampua, Kerajaan Buton (Abad ke-14)
Uang yang sangat unik yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita rakyat Buton, Kampua pertama kali diperkenalkan oleh Bulawambona, yaitu Ratu kerajaan Buton yang kedua, yang memerintah pada abad XIV. Setelah ratu meninggal, lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang yang berjualan mengambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan, para pedagang memberikan suatu upeti yang ditaruh diatas makam tersebut, yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton, bahkan sampai tahun 1940.
6. Uang Dirham, Kerajaan Samudra Pasai (1297 M)
Mata uang emas dari Kerajaan Samudra Pasai untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa pada tahun 1297-1326. Mata uang tersebut disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10-11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.
7. Uang Gobog Wayang, Kerajaan Majapahit (Abad ke-13)
Pada zaman Majapahit dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dan terdapat lubang ditengahnya karena pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin tersebut digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.
8. Uang "Ma", (Abad ke-12)
Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari māsa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 - 2,5 gram. Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, setengah atau seperempat lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan ada pula yang tak beraturan. Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai) dalam bidang lingkaran atau segiempat. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960-1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.
9. Uang Krishnala, Kerajaan Jenggala (1042-1130 M)
Pada zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, meskipun mengalami proses perubahan bentuk dan desain. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin perak mempunyai desain berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm. Pada waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah yang beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.
10. Uang Syailendra (850 M)
Mata uang Indonesia dicetak pertama kali pada tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal : Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang. Atak, berat 1.20 gram; sama dengan setengah Masa, atau 2 Kupang. Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan seperempat Masa atau setengah Atak. Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu setengah Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram). Koin emas pada zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame Seed”. Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.
No comments:
Post a Comment